Jumat, 04 Juni 2010

Mu'tazilah

MU’TAZILAH

I. Pendahuluan
Sebagimana yang telah disinyalir oleh Rasulullah saw. bahwasannya di akhir zaman umat beliau akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja yang akan masuk Surga.



“Telah terpecah kaum Yahudi menjadi 71 golongan, dan telah terpecah kaum Nasrani menjadi 72 golongan, sedang umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka, kecuali satu golongan. Kami (sahabat) bertanya: siapa yang satu golongan ini Ya Rosulullah? beliau menjawab: yaitu barang siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani.”

Syaikh Abdul Qohir bin Thahir bin Muhammad al Baghdadi dalam kitab “al-farqu bainal firaq” menyatakan bahwasannya kelompok-kelompok tersebut hanya beberapa kelompok saja yang kemudian setiap kelompok terpecah lagi menjadi beberapa golongan.
Adapun golongan-golongan tersebut adalah Syiah (Rofidhoh), Khawarij, Qadariyah (yang mana di dalam terdapat kelompok Mu’tazilah yang akan kami jelaskan nanti), Najariyah, Murji’ah, Bakriyah, Karomiyah, dan Ahlusunnah wal Jama’ah.
Di sini penulis tidak berpanjang lebar untuk menjelaskan setiap golongan. Sesuai dengan judul yang ada, penulis akan menspesifikasikan uraian tentang asal-muasal Mu’tazilah, pendiri Mu’tazilah, dan bagaimana akidah Mu’tazilah bila dipandang dalam sudut pandang ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.

II. Latar Belakang Timbulnya Aliran Mu’tazilah

Muktazilah adalah satu satu dari madzhab teologi dalam Islam. Kelahiran Muktazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar. Menurut sang guru, orang tersebut dianggapsebagi orang mukmin tetapi fasiq. Sementara itu, menurut sang murid, orang tersebut dihukumi fasiq namun konsep kefasikan menurut Washil bin Atha’ adalah tidak mukmin sakaligus bukan kafir. Ia berada di antara “al-manzilu bainal manzilatain” (tempat di antara dua tempat, yaitu mukmin dan kafir). Karena perbedaan tersebut, sang murid lantas memisahkan diri dan membentuk halaqah sendiri bersama Amr Ibn Umaid. Sang guru mengatakan, “I’tazala anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita). Dari situlah kemudian muncul istilah Muktazilah, orang-orang yang memisahkan diri.
Lebih jelasnya sebagaimana tertera dalam “al-Farqu bainal firaq”. Muktazilah merupakan pecahan dari faham Qadariyah, lebih tepatnya Qodariyah al-Washiliyah (karena dinisbatkan pada tokoh mereka yaitu Washil bin Atha’ al-Ghazzal). Pada awalnya Washil bin Atha’ adalah murid dari seorang Tabiin yang terkenal dengan kealimannya, Hasan al-Bashri.
Pada masa itu telah terjadi pergulatan pemikiran tentang hukum bagi orang yang dosa besar. Dari kalangan Khawarij mengatakan bahwasannya orang yang melakukan dosa besar dihukumi sebagai orang musyrik dan kafir, meskipun berbagai macam pendapat tentang tingkatan kekafiran dan kemusyrikan orang berdosa besar diantara setiap pecahan dari golongan Khawari, akan tetapi semua Khawarij bersepakat menghukumi demikian.
Misalnya, golongan Khawarij Azariqah berpendapat bahwasannya orang yang melakukan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar adalah Musyrik, dan anak-anak dari pelaku dosa tersebut juga dihukumi musrik. Oleh karenanya mereka (baik para pelaku dosa maupun anaknya) halal dibunuh. Di sini, kelompok Khawarij Azariqah berpandangan bahwa tidak hanya para pelaku dosa besar saja yang dihukumi Musyrik, bahkan pelaku dosa kecil-pun dihukumi sama.
Adapun golongan Khawarij Ibadhliyah beranggapan bahwa orang yang melakukan dosa, tetapi si pelaku mengerti dengan ke-esahan Allah serta mengetahui al-Qur’an dan ajaran Syari’at yang datang dari Allah, dihukumi sebagai orang yang kafir yang disebabkan kufur terhadap nikmat Allah, bukan kafir musyrik sebagaimana anggapan golongan peratama.
Adalagi faham Khawarij yang berpahaman bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah orang-orang munafik, sebagaimana diketahui bahwa munafik lebih jelek daripada kafir yang terang-terangan. Jadi golongan satu ini menganggap bahwa pelaku dosa besar lebih berat hukumannya daripada orang kafir.
Dari perselisihan ini, mulailah ada tanggapan dari para Tabiin yang mengkounter pendapat sesat para Khawarij ini. Para Ulama’ Tabiin menyatakan bahwasannya orang yang melakukan dosa besar selama ia masih iman kepada rukun enam, mereka tetap dihukumi sebagi Muslim-Mukmin. Ia dianggap fasik karena besarnya dosa yang ia lakukan, akan tetapi kefasikannya tidak sampai menafikan keislaman dan keimanannya. Adalah Hasan al-Bashri, termasuk salah satu Ulama’ Tabiin Bashrah (Iraq) yang berpendapat demikian.
Ketika fatwa ini menyebar, maka Washil bin Atha’ salah satu murid Hasan al-Bashri, menentang pandangan para Ulama’ salaf tersebut termasuk pandangan gurunya sendiri. Washil mempunyai pandangan yang lain dari wacana yang terjadi tersebut. Dia beranggapan bahwa orang yang melakukan dosa besar memang fasiq, sedangkan orang fasiq menurut pandangan Washil bukanlah orang mukmin tapi juga bukan orang kafir, dan nanti mempunyai tempat tersendiri di hari akhir, bukan di Neraka juga tidak masuk Surga. Atau yang terkenal dengan ‘’al-Manzilu bainal Manzilataini’’.
Ketika pandangan Washil terdengar oleh Hasan al-Bashri, maka sang Guru mengusir dari mejlis halaqah karena dianggap sesat oleh sang Guru. Kemudian Washil bergabung dengan Amar bin Ubaid bin Bab untuk membuat kelompok tersendiri. Sejak itu para ulama’ Tabiin menamakan mereka “Mu’tazilah”, karena mereka memisahkan diri dari halaqah Imam Hasan al-Bashri. “fa Qaala al-naasu yaumaidzin fihima, innahuma qad I’tazalaa qaulal ummati, wasummia itba’uhuma min yaumaidzin (Mu’tazilatan)”.
Muktazilah yang lahir di Basrah dengan tokoh Washil ibn Atha dan Amr ibn Ubaid, pada masa kekhalifahan Abd Al-Malik ibn Marwan, Dalam perjalananya, aliran ini terbagi menjadi dua cabang besar dengan perhatian yang berbeda, yaitu Basrah dan Baghdad. Cabang Basrah dengan tokoh utamanya Abu Al-Huzail ibn Al-Allaf lebih banyak menaruh perhatian pada pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sementara itu, cabang Baghdad dengan tokoh utama Bisyir ibn Al-Muktamar lebih memperhatikan penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip itu dengan memanfaatkan hubungan dekatnya dengan kekuasaan khilafah Abbasyiyah. Cabang ini --dibanding dengan cabang Basrah-- lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani. Para pendukungnya banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas secara sederhana oleh para pendukung Basrah dengan memanfaatkan pendapat para filosof.
Di antara para khalifah Abasyiyah, al-Makmun mempunyai jasa dalam upaya mendorong perkembangan Muktazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya, terutama untuk penterjemahan karya-karya filsafat Yunani kuno sangat besar artinya bagi perkembangan aliran ini dalam bidang teori, walau perkembangan Muktazilah sendiri tidak semata-mata hasil dorongan khalifah Makmun. Di sisi lain, secara politis, al-Makmun menggunakan paham Muktazilah sebagai alat untuk menguji loyalitas para bawahannya yang dikenal dengan istilah “mihnah”. Yaitu, pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an diciptakan, sebagaimana ajaran Muktazilah. Yang tidak percaya dipecat.
Kebijaksanaan al-Makmun ini dilanjutkan oleh al-Muktasim (833-842) dan bahkan lebih keras oleh al-Wasiq (842-847). Peran Ahmad ibn Abi Daud, salah seorang tokoh besar Muktazilah aliran Baghdad sangat besar dalam pelaksanaan mihnah ini. Ia adalah kawan dekat al-Makmun, yang kemudian memegang jabatan Hakim Agung menggantikan Yahya ibn Aksam pada tahun 832. Jabatan tersebut tetap dipegangnya sampai pada masa al-Muktasim dan al-Wasiq. Meninggalnya al-Wasiq menandai kejatuhan Muktazilah. Penggantinya, al-Mutawakkil (847-861), lebih cenderung kepada para ahli al-hadits yang lebih banyak menderita pada masa khalifah sebelumnya. Ia menghentikan mihnah dan prinsip-prinsip Muktazilah tidak lagi dipakai sebagai prinsip negara.

III. Metode Kalam (Aqidah) Mu’tazilah

Di antara metode terpenting yang kerap digunakan aliran yang didirikan oleh Washil ibn Atha’ dan 'Amru ibn 'Ubayd adalah sebagai berikut:
i. Menjadikan akal sebagai hakim tunggal yang berkuasa dalam menentukan permasalah akidah, sehingga masalah keimanan yang sebelumnya sederhana menjadi rumit dan spekulatif.
ii. Tunduknya wahyu pada hukum akal, seperti terlihat jelas pada konsep khalq al-Qur'an, nafyu ru'yah al-Baari yawm al-qiyaamah (menolak bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala pada hari kiamat), dll. Dalam konsep nafyu ru'yah al-Baarii yawm al-qiyamah, Mu'tazilah beralasan dengan QS. Al-An'am: 103 "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan". Sedangkan QS. Al-Qiyamah: 22-23 (Wajah-wajah [orang-orang mukmin] pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat), mereka menafsirkan kata nadziirah bukan melihat, tapi menunggu, yaitu menunggu rahmat dan melihat pahala kebajikannya. Namun Hadits Nabi yang menjelaskan bahwa Allāh bisa dilihat pada hari Kiamat dengan mata kepala seperti terlihatnya bulan pada bulan purnama. Argumentasi penolakan mereka adalah; kalau Allāh dapat dilihat dengan mata kepala, berarti Allāh telah menempati ruang dan waktu atau dan harus menjelma berupa benda yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan. Dan ini berarti menyamakan Allāh dengan makhluk (tajsim) yang berbentuk tubuh dan menempati ruang dan waktu.
iii. Menganalogikan Yang Ghaib dengan sesuatu yang bersifat empiris (qiyas al-ghaib 'ala l-shahid), sehingga pada akhirnya menyeret Mu'tazilah pada pendapat tidak kekalnya surga dan neraka serta berhentinya pergerakan para penghuninya, seperti yang dikatakan oleh Abu al-Hudhayl al-'Allaf. Dengan metode ini mereka juga menyatakan konsep ihbÉ Ï dan takfÊr. Dalam konsep ihbat Mu'tazilah tiga pendapat yang berbeda: a) kalangan mayoritas Mu'tazilah mengatakan jika manusia mengabdi pada Allah sepanjang hidupnya, kemudian mengerjakan suatu dosa besar, maka semua amalannya hangus. Sebab menurut al-Qadi 'Abd al-Jabbar, hak balasan bagi setiap dosa besar adalah hukuman yang menghapus pahala kebajikan. b) Menurut Abu 'Ali al-Juba'i, pahala kebajikan akan hangus sebatas dosa yang dilakukan. Misalnya seseorang mengerjakan amal kebajikan 20 kali dan melakukan dosa besar 10 kali, maka yang tersisa adalah 10 amal kebajikan. c) Menurut Abu Hashim bahwa konsep ihbat berada di tengah. Seperti halnya dosa menghapus kebaikan, demikian halnya amal kebaikan dapat menghapus dosa. Sedangkan metode penghitungannya, tidak berbeda dengan Abu 'Ali al-Juba'i.

IV. Persamaan Mu’tazilah dengan Qadariyah
Dalam hal pemahaman akan kekuasaan manusia dan mahluk lainnya dalam melakukan perbuatan. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah bukan pencipta karena usaha manusia itu dalam melakukan amal perbuatan sendiri. Menurut mereka apa yang dilakukan manusia adalah wewenangnya mahluk atas usahanya sendiri, tanpa keterlibatan Allah yang berkehendak. Dengan pemahan seperti ini, maka Ulama’ Salaf menyebut kaum Mu’tazilah sebagai kaum Qadariyah.

V. Persaman Mu’tazilah dengan Khawarij
Sedangkan wacana hukum bagi “orang berbuat dosa besar”, Mu’tazilah sepakat dengan menguatkan keputusan kaum Khawarij. Yaitu bahwasannya orang yang berdosa besar menurut mereka masuk neraka. Namun bagi Kaum Mu’tazilah pelaku dosa tidak dihukumi kafir atau mukmin. Bagi ulama’ salaf, Mu’tazilah merupakan kaum “Banci”nya Khawarij. Ini disebabkan tidak ada ketegasannya dalam berpendapat tentang pelaku dosa besar. Bila kaum Khawarij dengan jelas mengatan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan musyrik, dan akan langgeng masuk neraka, serta halal untuk diperangi. Namun kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa kekufuran pelaku dosa besar masuk neraka, akan tetapi tidak berani untuk memerangi serta tidak jelas penenmpatannya, yaitu almanzilatu bainal manzilataini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar