Minggu, 04 April 2010

ASUMSI SEBAGAI AQIDAH

Oleh: Dr. Muhammad Thalib.

Asumsi atau perkiraan dalam pengertian ilmiah adalah analisah saat sekarang untuk hasil masa depan yang dianggap benar. Di dalam asumsi ini terdapat dua unsur penting yang membedakannya dari perkiraan secara umum. Pertama, didasarkan pada analisa data yang dianggap valid saat ini. Kedua, proyeksi masa depan yang diyakini kebenarannya akan berjalan sesuai dengan perhitungan-perhitungan yang didasarkan pada data analisa yang dinilai bersifat ilmiah.

Dalam asumsi ini seringkali orang mengabaikan faktor-faktor tak terduga yang luput dari analisa dan pengamatan Si pembuat asumsi. Bahkan nyaris mengesampingkan faktor X atau hal-hal tak terduga dari perhitungan ilmiah. Bahkan dengan sangat berani menempatkan analisa dan pemikirannya yang diproyeksikan ke masa depan sebagai suatu kebenaran yang tidak mudah digugurkan begitu saja. Di sinilah letak dan kunci mengapa asumsi ini kita namakan sebagai aqidah modern tentang masa depan, karena asumsi telah dijadikan sebagai petunjuk jalan hidup dalam pengambilan kebijakan atau bagi pelaksanaan program melakukan tindakan tertentu yang harus diyakini kebenarannya dan tidak boleh diubah tanpa adanya data yang lebih akurat.

Dengan sifat asumsi seperti ini, seringkali para pelaksana program lebih bersifat dogmatis dan menganggap setiap orang yang kontras terhadap asumsinya dipandang sebagai musuh kebenaran. aKraena itu tudak jarang para pelaksana program yang telah menyusun proyeksi dari asumsi yang telah telah ditetapkan memandang usaha para penentangnya, bahkan dihukum mati.

Asumsi dibidang kedokteran atau pertanian tidak terlihat sikap agresifnya terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya. Akan tetapi asumsi yang telah diambil oleh suatu negara dalam menentukan kebijakan ekonomi, seringkali bersikap ekstrim dalam amenghadapi lawan-lawan pemikirannya. Negara yang telah mengambil asumsi tertentu tentang pembangunan ekonomi, akan melakukan indoktrinasi secara sistematis dan terus-menerus kepada rakyatnya dengan alasan pembenaran demi kesejahteraan sosial dan kemakmuran setiap warga negaranya. Rakyat dipaksa mengimani setiap butir-butir dari ketentuan pemerintah maupun lembaga pelaksana pembangunan agar apa yang sudah menjadi aqidah pembangunan ekonomi negara dapat berjalan dengan baik tanpa rintangan dari rakyatnya.

Baik pada negara maju maupun negara berkembang, demi asumsi pertumbuhan masa depan ekonominya dan program jangka panjang kepentingan kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan ekonomi rakyatnya, seringkali melindas agama yang dianut rakyatnya. Apalagi bila mayoritas rakyat itu beragama Islam, maka seringkali dirasakan penentangan kepentingan rencana pembangunan ekonomi dengan ketentuan berkembangbiaknya lembaga-lembaga perbankan dengan sistem riba untuk mendukung tingkat kemajuan ekonomi, dengan begitu saja mengesampingkan aqidah dan keyakinan umat Islam tentang haramnya riba. Di sini umat Islam dipaksa meyakini bahwa larangan riba dalam Islam bertentangan dengan tuntutan perkembangan ekonomi masa depan dari negara yang bersangkutan.

Lebih jauh upaya pemaksasan yang didorang oleh asumsi pembangunan ekonomi modern antara lain pengembangan sektor pariwisata denga segala fasilitas kemungkaran dan kemaksiatan. Untuk kepentingan memajukan pariwisata, keyakinan dan moral umat Islam dikesampiakn begitu saja. Bahkan dalam pertimbangan kebijaksanaan pariwisata, secara terang-terangan memproklamasikan dirinya penentang syari'at dan aqidah kaum muslimin. Bersambung...


Kamis, 01 April 2010

RELATIVISME II

Oleh: M. Saad.

berpijak pada metode analisa dan pendekatan permasalahan melalui ilmu matiq atau logika, maka adanya anggapan bahwa segala sesuatu bersifat relatif adalah suatu pertanda kebodohan yang fatal dan menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan tidak mampu berpikir berdasarkan kaidah-kaidah pemikiran yang Universal. dan inilah penyakit yang sekarang lagi menjadi tren menjangkiti kalangan intelektual Kampus di Indonesia maupun negara-negara Barat. oleh karena itu mendengungkan relativisme, disebabkan kebodohan mereka terhadap kaidah-kaidah berpikir yang telh menjadi satu aksioma dalam logika. Mereka sering melompat dari satu sudut pandang kesudut pandang yang lain. dengan kepongahan mengatakan bahwa sesuatu tidak dapat dinilai secara obyektif dan absolut, tetapi mutlak relatif. padahal pada saat mengatakan segala sesuatu itu relatif, maka sesungguhnya tanpa disadari mereka telah terjebak kemutlakan. Artinya mereka terjebak pada postulat meraka "bahwa segalal sesuatu itu mutlak relatif", dengan demikian kemutlakan itu ada dan mereka mengakuinya (segala sesuatu relatif).

Setelah mengetahui permasalahan antara apa yang dikatakan mutlak dan relatif, maka pertanyaannya adalah "apakah benar kemutlakan itu tidak ada?", jika tidak ada, bagaimana jawabannya ketika diajukan pertanyaan "Si A diaktakan laki-laki sekaligus perempuan pada saat yang sama?". Apaka hal ini bisa diterima oleh logika mereka? pasti tidak! dengan demikian bagaimanapun mereka lagi-lagi akan mengakui bahwa kemutlakan itu sah adanya. Bila dengan contoh dan logiak di ats masih saja ada orang yang bersiteguh mengatakan bahwa segala sesuatu itu relatif, naka orang ini perlu dipertanyakan kesehatan berpikirnya alias tidak waras. inilah yang dinamaka kesesatan berpikir.

Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang obyektif dan Universal, maka setiap orang tidak bisa seenaknya mengatakan bahwa kaidah logika itu sendiri merupakan karya manusia yang relati, karena manusia tidak lepas dari kelemahan. Mabusia memang mempunyai kelemahan, akan tetapi permasalahannya bukan pada manusia, akan tetapi pada obyek yang menjadi persoalan manusia. apkah obyek itu bersifat mutlak tau relatif?. sebab jika dikatakan bahwa obyektif itu dikatakan relatif, artinya Allah yang Maha Pencipta setiap saat melakukan perubahan terhadap hasil ciptaanNya. Hal ini bererti Allah sendiri kehilangan sifat Kemaha Sempurnaannya, serta sifat "Mukholafatu lil hawa ditsi'.

Menggambarkan Allah sebagai pencipta dalam pengertian di atas berarti menempatkan tidak lebih dari posisi manusia yang senantiasa serba kurang dan mengalami kelemahan dalam penciptaan. Polapikir semacam ini jilas menunjukkan kesesatan berpikir. Jika ada yang mengatakan bahwa "mengapa anda membawa persoalan ini dengan Allah, padahal yang kita perbincangkan adalah keberadaan manusia dengan pemikirannya". Yang perlu diingat adalah yang kita permasalahkan adalah hukum logika; adapun hukum logika sendirisatu dari sekian sunnatullah yang lain. sebagaimana air, jika anda mengakui bahwa air mengalir dari daerah tinggi menuju daerah yang lebih rendah, kita harus mengakui juga bahwa akal mempunyai fitrah, serupa dengan mahluk-mahluk Allah yang lain. Misalnya; ketika akal mendapat informasi atau meliha ibyek, secara otomatis akal akan bekerja untuk mengidentifikasi masalah. Di dalam pengidentifikasian ini berlaku hukum logika, yaitu benda yang dilihatnya adalah satu, dua, atau banyak. Jadi tidak bisa orang mengatakan: "Saya melihat benda dan tidak mengakui bahwa benda itu mempunyai jumlah". Jika hal ini terjadi pada seseorang, maka orang tersebut dikatakan mengalami gangguan mental karena menyalahi ketentuan logika yang menetapkan benda itu mempunyai jumlah tertentu.

Disini letak persoalan yang harus difahami, jika hendak berfikir atau menganalisa sesuatu. yang harus diperhatikan adalah obyek permasalahan yang harus dipikirkan manusia, sifat dasarnya adalah obyektif dan oleh karena itu maka hukum logika yang melekat pada manusia itu sendiri juga mempunyai sifat obyektif. jika hukum logika itu relatif, maka manusia tidak pernah tidak pernah memahami sunnatullah atau hukum alam yang bersifat absolut. Wallahu a'laam