Jumat, 04 Juni 2010

Mu'tazilah

MU’TAZILAH

I. Pendahuluan
Sebagimana yang telah disinyalir oleh Rasulullah saw. bahwasannya di akhir zaman umat beliau akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja yang akan masuk Surga.



“Telah terpecah kaum Yahudi menjadi 71 golongan, dan telah terpecah kaum Nasrani menjadi 72 golongan, sedang umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka, kecuali satu golongan. Kami (sahabat) bertanya: siapa yang satu golongan ini Ya Rosulullah? beliau menjawab: yaitu barang siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani.”

Syaikh Abdul Qohir bin Thahir bin Muhammad al Baghdadi dalam kitab “al-farqu bainal firaq” menyatakan bahwasannya kelompok-kelompok tersebut hanya beberapa kelompok saja yang kemudian setiap kelompok terpecah lagi menjadi beberapa golongan.
Adapun golongan-golongan tersebut adalah Syiah (Rofidhoh), Khawarij, Qadariyah (yang mana di dalam terdapat kelompok Mu’tazilah yang akan kami jelaskan nanti), Najariyah, Murji’ah, Bakriyah, Karomiyah, dan Ahlusunnah wal Jama’ah.
Di sini penulis tidak berpanjang lebar untuk menjelaskan setiap golongan. Sesuai dengan judul yang ada, penulis akan menspesifikasikan uraian tentang asal-muasal Mu’tazilah, pendiri Mu’tazilah, dan bagaimana akidah Mu’tazilah bila dipandang dalam sudut pandang ajaran al-Qur’an dan al-Hadits.

II. Latar Belakang Timbulnya Aliran Mu’tazilah

Muktazilah adalah satu satu dari madzhab teologi dalam Islam. Kelahiran Muktazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar. Menurut sang guru, orang tersebut dianggapsebagi orang mukmin tetapi fasiq. Sementara itu, menurut sang murid, orang tersebut dihukumi fasiq namun konsep kefasikan menurut Washil bin Atha’ adalah tidak mukmin sakaligus bukan kafir. Ia berada di antara “al-manzilu bainal manzilatain” (tempat di antara dua tempat, yaitu mukmin dan kafir). Karena perbedaan tersebut, sang murid lantas memisahkan diri dan membentuk halaqah sendiri bersama Amr Ibn Umaid. Sang guru mengatakan, “I’tazala anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita). Dari situlah kemudian muncul istilah Muktazilah, orang-orang yang memisahkan diri.
Lebih jelasnya sebagaimana tertera dalam “al-Farqu bainal firaq”. Muktazilah merupakan pecahan dari faham Qadariyah, lebih tepatnya Qodariyah al-Washiliyah (karena dinisbatkan pada tokoh mereka yaitu Washil bin Atha’ al-Ghazzal). Pada awalnya Washil bin Atha’ adalah murid dari seorang Tabiin yang terkenal dengan kealimannya, Hasan al-Bashri.
Pada masa itu telah terjadi pergulatan pemikiran tentang hukum bagi orang yang dosa besar. Dari kalangan Khawarij mengatakan bahwasannya orang yang melakukan dosa besar dihukumi sebagai orang musyrik dan kafir, meskipun berbagai macam pendapat tentang tingkatan kekafiran dan kemusyrikan orang berdosa besar diantara setiap pecahan dari golongan Khawari, akan tetapi semua Khawarij bersepakat menghukumi demikian.
Misalnya, golongan Khawarij Azariqah berpendapat bahwasannya orang yang melakukan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar adalah Musyrik, dan anak-anak dari pelaku dosa tersebut juga dihukumi musrik. Oleh karenanya mereka (baik para pelaku dosa maupun anaknya) halal dibunuh. Di sini, kelompok Khawarij Azariqah berpandangan bahwa tidak hanya para pelaku dosa besar saja yang dihukumi Musyrik, bahkan pelaku dosa kecil-pun dihukumi sama.
Adapun golongan Khawarij Ibadhliyah beranggapan bahwa orang yang melakukan dosa, tetapi si pelaku mengerti dengan ke-esahan Allah serta mengetahui al-Qur’an dan ajaran Syari’at yang datang dari Allah, dihukumi sebagai orang yang kafir yang disebabkan kufur terhadap nikmat Allah, bukan kafir musyrik sebagaimana anggapan golongan peratama.
Adalagi faham Khawarij yang berpahaman bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah orang-orang munafik, sebagaimana diketahui bahwa munafik lebih jelek daripada kafir yang terang-terangan. Jadi golongan satu ini menganggap bahwa pelaku dosa besar lebih berat hukumannya daripada orang kafir.
Dari perselisihan ini, mulailah ada tanggapan dari para Tabiin yang mengkounter pendapat sesat para Khawarij ini. Para Ulama’ Tabiin menyatakan bahwasannya orang yang melakukan dosa besar selama ia masih iman kepada rukun enam, mereka tetap dihukumi sebagi Muslim-Mukmin. Ia dianggap fasik karena besarnya dosa yang ia lakukan, akan tetapi kefasikannya tidak sampai menafikan keislaman dan keimanannya. Adalah Hasan al-Bashri, termasuk salah satu Ulama’ Tabiin Bashrah (Iraq) yang berpendapat demikian.
Ketika fatwa ini menyebar, maka Washil bin Atha’ salah satu murid Hasan al-Bashri, menentang pandangan para Ulama’ salaf tersebut termasuk pandangan gurunya sendiri. Washil mempunyai pandangan yang lain dari wacana yang terjadi tersebut. Dia beranggapan bahwa orang yang melakukan dosa besar memang fasiq, sedangkan orang fasiq menurut pandangan Washil bukanlah orang mukmin tapi juga bukan orang kafir, dan nanti mempunyai tempat tersendiri di hari akhir, bukan di Neraka juga tidak masuk Surga. Atau yang terkenal dengan ‘’al-Manzilu bainal Manzilataini’’.
Ketika pandangan Washil terdengar oleh Hasan al-Bashri, maka sang Guru mengusir dari mejlis halaqah karena dianggap sesat oleh sang Guru. Kemudian Washil bergabung dengan Amar bin Ubaid bin Bab untuk membuat kelompok tersendiri. Sejak itu para ulama’ Tabiin menamakan mereka “Mu’tazilah”, karena mereka memisahkan diri dari halaqah Imam Hasan al-Bashri. “fa Qaala al-naasu yaumaidzin fihima, innahuma qad I’tazalaa qaulal ummati, wasummia itba’uhuma min yaumaidzin (Mu’tazilatan)”.
Muktazilah yang lahir di Basrah dengan tokoh Washil ibn Atha dan Amr ibn Ubaid, pada masa kekhalifahan Abd Al-Malik ibn Marwan, Dalam perjalananya, aliran ini terbagi menjadi dua cabang besar dengan perhatian yang berbeda, yaitu Basrah dan Baghdad. Cabang Basrah dengan tokoh utamanya Abu Al-Huzail ibn Al-Allaf lebih banyak menaruh perhatian pada pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sementara itu, cabang Baghdad dengan tokoh utama Bisyir ibn Al-Muktamar lebih memperhatikan penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip itu dengan memanfaatkan hubungan dekatnya dengan kekuasaan khilafah Abbasyiyah. Cabang ini --dibanding dengan cabang Basrah-- lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani. Para pendukungnya banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas secara sederhana oleh para pendukung Basrah dengan memanfaatkan pendapat para filosof.
Di antara para khalifah Abasyiyah, al-Makmun mempunyai jasa dalam upaya mendorong perkembangan Muktazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya, terutama untuk penterjemahan karya-karya filsafat Yunani kuno sangat besar artinya bagi perkembangan aliran ini dalam bidang teori, walau perkembangan Muktazilah sendiri tidak semata-mata hasil dorongan khalifah Makmun. Di sisi lain, secara politis, al-Makmun menggunakan paham Muktazilah sebagai alat untuk menguji loyalitas para bawahannya yang dikenal dengan istilah “mihnah”. Yaitu, pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an diciptakan, sebagaimana ajaran Muktazilah. Yang tidak percaya dipecat.
Kebijaksanaan al-Makmun ini dilanjutkan oleh al-Muktasim (833-842) dan bahkan lebih keras oleh al-Wasiq (842-847). Peran Ahmad ibn Abi Daud, salah seorang tokoh besar Muktazilah aliran Baghdad sangat besar dalam pelaksanaan mihnah ini. Ia adalah kawan dekat al-Makmun, yang kemudian memegang jabatan Hakim Agung menggantikan Yahya ibn Aksam pada tahun 832. Jabatan tersebut tetap dipegangnya sampai pada masa al-Muktasim dan al-Wasiq. Meninggalnya al-Wasiq menandai kejatuhan Muktazilah. Penggantinya, al-Mutawakkil (847-861), lebih cenderung kepada para ahli al-hadits yang lebih banyak menderita pada masa khalifah sebelumnya. Ia menghentikan mihnah dan prinsip-prinsip Muktazilah tidak lagi dipakai sebagai prinsip negara.

III. Metode Kalam (Aqidah) Mu’tazilah

Di antara metode terpenting yang kerap digunakan aliran yang didirikan oleh Washil ibn Atha’ dan 'Amru ibn 'Ubayd adalah sebagai berikut:
i. Menjadikan akal sebagai hakim tunggal yang berkuasa dalam menentukan permasalah akidah, sehingga masalah keimanan yang sebelumnya sederhana menjadi rumit dan spekulatif.
ii. Tunduknya wahyu pada hukum akal, seperti terlihat jelas pada konsep khalq al-Qur'an, nafyu ru'yah al-Baari yawm al-qiyaamah (menolak bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala pada hari kiamat), dll. Dalam konsep nafyu ru'yah al-Baarii yawm al-qiyamah, Mu'tazilah beralasan dengan QS. Al-An'am: 103 "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan". Sedangkan QS. Al-Qiyamah: 22-23 (Wajah-wajah [orang-orang mukmin] pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat), mereka menafsirkan kata nadziirah bukan melihat, tapi menunggu, yaitu menunggu rahmat dan melihat pahala kebajikannya. Namun Hadits Nabi yang menjelaskan bahwa Allāh bisa dilihat pada hari Kiamat dengan mata kepala seperti terlihatnya bulan pada bulan purnama. Argumentasi penolakan mereka adalah; kalau Allāh dapat dilihat dengan mata kepala, berarti Allāh telah menempati ruang dan waktu atau dan harus menjelma berupa benda yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan. Dan ini berarti menyamakan Allāh dengan makhluk (tajsim) yang berbentuk tubuh dan menempati ruang dan waktu.
iii. Menganalogikan Yang Ghaib dengan sesuatu yang bersifat empiris (qiyas al-ghaib 'ala l-shahid), sehingga pada akhirnya menyeret Mu'tazilah pada pendapat tidak kekalnya surga dan neraka serta berhentinya pergerakan para penghuninya, seperti yang dikatakan oleh Abu al-Hudhayl al-'Allaf. Dengan metode ini mereka juga menyatakan konsep ihbÉ Ï dan takfÊr. Dalam konsep ihbat Mu'tazilah tiga pendapat yang berbeda: a) kalangan mayoritas Mu'tazilah mengatakan jika manusia mengabdi pada Allah sepanjang hidupnya, kemudian mengerjakan suatu dosa besar, maka semua amalannya hangus. Sebab menurut al-Qadi 'Abd al-Jabbar, hak balasan bagi setiap dosa besar adalah hukuman yang menghapus pahala kebajikan. b) Menurut Abu 'Ali al-Juba'i, pahala kebajikan akan hangus sebatas dosa yang dilakukan. Misalnya seseorang mengerjakan amal kebajikan 20 kali dan melakukan dosa besar 10 kali, maka yang tersisa adalah 10 amal kebajikan. c) Menurut Abu Hashim bahwa konsep ihbat berada di tengah. Seperti halnya dosa menghapus kebaikan, demikian halnya amal kebaikan dapat menghapus dosa. Sedangkan metode penghitungannya, tidak berbeda dengan Abu 'Ali al-Juba'i.

IV. Persamaan Mu’tazilah dengan Qadariyah
Dalam hal pemahaman akan kekuasaan manusia dan mahluk lainnya dalam melakukan perbuatan. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah bukan pencipta karena usaha manusia itu dalam melakukan amal perbuatan sendiri. Menurut mereka apa yang dilakukan manusia adalah wewenangnya mahluk atas usahanya sendiri, tanpa keterlibatan Allah yang berkehendak. Dengan pemahan seperti ini, maka Ulama’ Salaf menyebut kaum Mu’tazilah sebagai kaum Qadariyah.

V. Persaman Mu’tazilah dengan Khawarij
Sedangkan wacana hukum bagi “orang berbuat dosa besar”, Mu’tazilah sepakat dengan menguatkan keputusan kaum Khawarij. Yaitu bahwasannya orang yang berdosa besar menurut mereka masuk neraka. Namun bagi Kaum Mu’tazilah pelaku dosa tidak dihukumi kafir atau mukmin. Bagi ulama’ salaf, Mu’tazilah merupakan kaum “Banci”nya Khawarij. Ini disebabkan tidak ada ketegasannya dalam berpendapat tentang pelaku dosa besar. Bila kaum Khawarij dengan jelas mengatan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan musyrik, dan akan langgeng masuk neraka, serta halal untuk diperangi. Namun kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa kekufuran pelaku dosa besar masuk neraka, akan tetapi tidak berani untuk memerangi serta tidak jelas penenmpatannya, yaitu almanzilatu bainal manzilataini.

Minggu, 04 April 2010

ASUMSI SEBAGAI AQIDAH

Oleh: Dr. Muhammad Thalib.

Asumsi atau perkiraan dalam pengertian ilmiah adalah analisah saat sekarang untuk hasil masa depan yang dianggap benar. Di dalam asumsi ini terdapat dua unsur penting yang membedakannya dari perkiraan secara umum. Pertama, didasarkan pada analisa data yang dianggap valid saat ini. Kedua, proyeksi masa depan yang diyakini kebenarannya akan berjalan sesuai dengan perhitungan-perhitungan yang didasarkan pada data analisa yang dinilai bersifat ilmiah.

Dalam asumsi ini seringkali orang mengabaikan faktor-faktor tak terduga yang luput dari analisa dan pengamatan Si pembuat asumsi. Bahkan nyaris mengesampingkan faktor X atau hal-hal tak terduga dari perhitungan ilmiah. Bahkan dengan sangat berani menempatkan analisa dan pemikirannya yang diproyeksikan ke masa depan sebagai suatu kebenaran yang tidak mudah digugurkan begitu saja. Di sinilah letak dan kunci mengapa asumsi ini kita namakan sebagai aqidah modern tentang masa depan, karena asumsi telah dijadikan sebagai petunjuk jalan hidup dalam pengambilan kebijakan atau bagi pelaksanaan program melakukan tindakan tertentu yang harus diyakini kebenarannya dan tidak boleh diubah tanpa adanya data yang lebih akurat.

Dengan sifat asumsi seperti ini, seringkali para pelaksana program lebih bersifat dogmatis dan menganggap setiap orang yang kontras terhadap asumsinya dipandang sebagai musuh kebenaran. aKraena itu tudak jarang para pelaksana program yang telah menyusun proyeksi dari asumsi yang telah telah ditetapkan memandang usaha para penentangnya, bahkan dihukum mati.

Asumsi dibidang kedokteran atau pertanian tidak terlihat sikap agresifnya terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya. Akan tetapi asumsi yang telah diambil oleh suatu negara dalam menentukan kebijakan ekonomi, seringkali bersikap ekstrim dalam amenghadapi lawan-lawan pemikirannya. Negara yang telah mengambil asumsi tertentu tentang pembangunan ekonomi, akan melakukan indoktrinasi secara sistematis dan terus-menerus kepada rakyatnya dengan alasan pembenaran demi kesejahteraan sosial dan kemakmuran setiap warga negaranya. Rakyat dipaksa mengimani setiap butir-butir dari ketentuan pemerintah maupun lembaga pelaksana pembangunan agar apa yang sudah menjadi aqidah pembangunan ekonomi negara dapat berjalan dengan baik tanpa rintangan dari rakyatnya.

Baik pada negara maju maupun negara berkembang, demi asumsi pertumbuhan masa depan ekonominya dan program jangka panjang kepentingan kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan ekonomi rakyatnya, seringkali melindas agama yang dianut rakyatnya. Apalagi bila mayoritas rakyat itu beragama Islam, maka seringkali dirasakan penentangan kepentingan rencana pembangunan ekonomi dengan ketentuan berkembangbiaknya lembaga-lembaga perbankan dengan sistem riba untuk mendukung tingkat kemajuan ekonomi, dengan begitu saja mengesampingkan aqidah dan keyakinan umat Islam tentang haramnya riba. Di sini umat Islam dipaksa meyakini bahwa larangan riba dalam Islam bertentangan dengan tuntutan perkembangan ekonomi masa depan dari negara yang bersangkutan.

Lebih jauh upaya pemaksasan yang didorang oleh asumsi pembangunan ekonomi modern antara lain pengembangan sektor pariwisata denga segala fasilitas kemungkaran dan kemaksiatan. Untuk kepentingan memajukan pariwisata, keyakinan dan moral umat Islam dikesampiakn begitu saja. Bahkan dalam pertimbangan kebijaksanaan pariwisata, secara terang-terangan memproklamasikan dirinya penentang syari'at dan aqidah kaum muslimin. Bersambung...


Kamis, 01 April 2010

RELATIVISME II

Oleh: M. Saad.

berpijak pada metode analisa dan pendekatan permasalahan melalui ilmu matiq atau logika, maka adanya anggapan bahwa segala sesuatu bersifat relatif adalah suatu pertanda kebodohan yang fatal dan menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan tidak mampu berpikir berdasarkan kaidah-kaidah pemikiran yang Universal. dan inilah penyakit yang sekarang lagi menjadi tren menjangkiti kalangan intelektual Kampus di Indonesia maupun negara-negara Barat. oleh karena itu mendengungkan relativisme, disebabkan kebodohan mereka terhadap kaidah-kaidah berpikir yang telh menjadi satu aksioma dalam logika. Mereka sering melompat dari satu sudut pandang kesudut pandang yang lain. dengan kepongahan mengatakan bahwa sesuatu tidak dapat dinilai secara obyektif dan absolut, tetapi mutlak relatif. padahal pada saat mengatakan segala sesuatu itu relatif, maka sesungguhnya tanpa disadari mereka telah terjebak kemutlakan. Artinya mereka terjebak pada postulat meraka "bahwa segalal sesuatu itu mutlak relatif", dengan demikian kemutlakan itu ada dan mereka mengakuinya (segala sesuatu relatif).

Setelah mengetahui permasalahan antara apa yang dikatakan mutlak dan relatif, maka pertanyaannya adalah "apakah benar kemutlakan itu tidak ada?", jika tidak ada, bagaimana jawabannya ketika diajukan pertanyaan "Si A diaktakan laki-laki sekaligus perempuan pada saat yang sama?". Apaka hal ini bisa diterima oleh logika mereka? pasti tidak! dengan demikian bagaimanapun mereka lagi-lagi akan mengakui bahwa kemutlakan itu sah adanya. Bila dengan contoh dan logiak di ats masih saja ada orang yang bersiteguh mengatakan bahwa segala sesuatu itu relatif, naka orang ini perlu dipertanyakan kesehatan berpikirnya alias tidak waras. inilah yang dinamaka kesesatan berpikir.

Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang obyektif dan Universal, maka setiap orang tidak bisa seenaknya mengatakan bahwa kaidah logika itu sendiri merupakan karya manusia yang relati, karena manusia tidak lepas dari kelemahan. Mabusia memang mempunyai kelemahan, akan tetapi permasalahannya bukan pada manusia, akan tetapi pada obyek yang menjadi persoalan manusia. apkah obyek itu bersifat mutlak tau relatif?. sebab jika dikatakan bahwa obyektif itu dikatakan relatif, artinya Allah yang Maha Pencipta setiap saat melakukan perubahan terhadap hasil ciptaanNya. Hal ini bererti Allah sendiri kehilangan sifat Kemaha Sempurnaannya, serta sifat "Mukholafatu lil hawa ditsi'.

Menggambarkan Allah sebagai pencipta dalam pengertian di atas berarti menempatkan tidak lebih dari posisi manusia yang senantiasa serba kurang dan mengalami kelemahan dalam penciptaan. Polapikir semacam ini jilas menunjukkan kesesatan berpikir. Jika ada yang mengatakan bahwa "mengapa anda membawa persoalan ini dengan Allah, padahal yang kita perbincangkan adalah keberadaan manusia dengan pemikirannya". Yang perlu diingat adalah yang kita permasalahkan adalah hukum logika; adapun hukum logika sendirisatu dari sekian sunnatullah yang lain. sebagaimana air, jika anda mengakui bahwa air mengalir dari daerah tinggi menuju daerah yang lebih rendah, kita harus mengakui juga bahwa akal mempunyai fitrah, serupa dengan mahluk-mahluk Allah yang lain. Misalnya; ketika akal mendapat informasi atau meliha ibyek, secara otomatis akal akan bekerja untuk mengidentifikasi masalah. Di dalam pengidentifikasian ini berlaku hukum logika, yaitu benda yang dilihatnya adalah satu, dua, atau banyak. Jadi tidak bisa orang mengatakan: "Saya melihat benda dan tidak mengakui bahwa benda itu mempunyai jumlah". Jika hal ini terjadi pada seseorang, maka orang tersebut dikatakan mengalami gangguan mental karena menyalahi ketentuan logika yang menetapkan benda itu mempunyai jumlah tertentu.

Disini letak persoalan yang harus difahami, jika hendak berfikir atau menganalisa sesuatu. yang harus diperhatikan adalah obyek permasalahan yang harus dipikirkan manusia, sifat dasarnya adalah obyektif dan oleh karena itu maka hukum logika yang melekat pada manusia itu sendiri juga mempunyai sifat obyektif. jika hukum logika itu relatif, maka manusia tidak pernah tidak pernah memahami sunnatullah atau hukum alam yang bersifat absolut. Wallahu a'laam

Rabu, 31 Maret 2010

RELATIFISME
oleh: M. Saad


relativisme adalah faham kenisbian. sebuah teori yang diperkenalkan oleh Einstein mengenai alam semesta yang berdasarkan prinsip bahwa ukuran ruang dan waktu bersifat relatif, lawannya adalah kemutlakan (absolut).

adakah sesutu yang bersifat mutlak dalam kehidupan fanah ini?, sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya terlebih dahulu diketahui, apa yang dimaksud relatif dan apa yang dimaksud mutlak?, mengapa ada orang yang bersihteguh, bahwa setiap kebenaran yang didapat manusia itu bersifat relatif?.

untuk memahami psrsdigma pemikiran semacam ini, sangatlah penting mengetahui beberapa hal di bawah ini terlebih dahulu:

1. Objek permasalah yang dimaksud adanya, mutlak ataukah relatif?, artinya apakah permasalahannya itu sendiri objektih ada di luar manusia, sehingga orang mengakui adanya masalah itu mutlak atau tidak?. sebagai contoh: "kemiskinan", objeknya ada atau tidak? di sini harus dibedakan tentang "tingkat kemiskinan" satu daerah dengan daerah lainnya dengan "kemiskinan" itu sendiri. jika kita membandingkan tingkat kermiskinan antar daerah, maka di sini yang relatif bukan "kemiskinan"nya tetapi "ukuran kemiskinan" yang relatif. jadi "kemiskinan" itu sendiri objetif absolut.

2. Permasalahan harus dipandang dari sudut pandang dan cara yang sama pula. jika sudut pandang yang satu berbeda dengan yang lainnya, maka hasilnya akan berbeda pula, maka disisni tidak dapat dikatakan permasalahannya relafif. contoh: "SDSB, dari segi ekonomi dianggap menguntungkan karena dapat mengumpulkan dana dalam waktu singkat. Akan tetapi dari tinjauan Syara', akhlaq dan akidah merupakan perbuatan yang merugikan, karena dapat menimbulkan tindak kejahatan dan meremekan ajaran Agama. Jika orang memandang suatu persoalan dari sudut pandang yang berbeda, bukan permasalahannya relatif. perbedaan sudut pandang disebabkan pendirian yang tidak sama pula dan berangkat dari landasan berpikir yang tidak sama pula".

3. Dalam setiap permasalahan, seseorang harus membedakan apak yang dimaksud dengan konsep "berlawanan", "berlainan", dan "berbeda".
a. Berlawanan, seperti mati dan hidup. Seseorang tidak dapat dikatakan "Dia mati" dan "Dia hidup". Di sini seorang akan hanya kan menyandang satu sifat saja. "mati" atau "hidup".
b. Berlainan, "Ahmad berkulit putih dan berkulit hitam". adalah mustahil dua warna ini melekat pada diri ahmad pada saat yang sama, tetapi diterima kebenaran kedua hal yang sama ini. apabila kedua-duanya hilang, maka sifat baru kemudian melekat pada diri ahmad.
c. berbeda, seperti guru dan murid. Murid berbeda dengan guru, tetapi bukan hal yang mustahil kedua sifat ini disandang oleh seseorang pada saat bersamaan. Yakni, seseorang ini mempunyai ststus sebagai mahasiswa, tetapi sekaligus menjadi Dosen.

Dengan memperhatikan jkaidah berpikir semacam ini, yaitu menganalisa sifat masalah, apakah masaslah yang ada dalam hubungannya dengan masalah lain, berlawanan, atau berbeda, dan berlainan, niscaya akan memperoleh ketetapan yang dinamakan "mutlak" dan "relatif. setiap masalah pada dasarnya mempunyai nilai mutlak, selama kita menetapkannya dari sudut pandang yang sama. contoh:
"manusia melakukan tindakan pencurian, selama kita melihat dari sudut pandang dari segi larangan hukum, maka orang itu mutlak melakukan kessalahan. dan cara pandang semacam ini, maka jiak ada orang yang mengatakan bahwa seorang pencuri adalah tidak bersalah , berarti pandangannya mutlak salah, selama didasarkan pada larangan hukum."

Demikian pula halnya dengan masalaha-masalah lainnya; selama mempunyai nilai mutlak, selagi dasar pandangannya sama. Bila terjadi dua pendapat yang berlawanan dengan sudut pandang yang sama, maka pasti salah satu ada yang benar atau keduannya salah. dalam hal ini tidak bisa muncul nilai realtif,. karena kemunculan nilai relatif, doisebabbkan sudut pandangnyang dipergunakan berlainan atau berbeda. bersambung...

muqoddimah

kuawali langkahku dengan "bismillahirrohmanirrohim"